Era AI: Skill dan Passion Kini Mengalahkan Ijazah Sarjana

Teknologi8 Dilihat

Di tengah derasnya arus transformasi yang digerakkan oleh kecerdasan buatan (AI), para petinggi di industri teknologi dunia mulai berpandangan bahwa kemahiran nyata dan semangat belajar jauh lebih penting daripada sekadar gelar akademis. Pendidikan formal tetap dihargai, namun kini menjadi salah satu dari banyak jalur menuju kesuksesan karier di bidang teknologi.

CEO Palantir, Alex Karp, dengan tegas menyatakan bahwa status akademik kandidat—apakah lulusan Harvard, Princeton, atau bahkan tidak pernah kuliah—sama sekali tidak menentukan peluang seseorang di perusahaannya. Bagi Palantir, kontribusi nyata dan kemampuan dalam bekerja jauh lebih penting. “Begitu bergabung dengan Palantir, Anda adalah ‘Palantirian’—dan itu sudah cukup,” ujarnya.

Pendekatan serupa juga datang dari pucuk kepemimpinan Apple. CEO Tim Cook mengungkapkan bahwa hampir separuh tenaga kerja Apple di Amerika Serikat pada 2019 tidak memiliki gelar sarjana empat tahun. Cook menyoroti ketimpangan antara kurikulum akademis dengan kebutuhan praktis di industri. Kemampuan bekerja sama, gairah belajar, serta keterampilan teknis seperti pemrograman—menurutnya—adalah modal yang lebih dicari ketimbang sekadar diploma.

CEO Nvidia, Jensen Huang, memberi perspektif lain: jika diberi kesempatan menjalani kuliah lagi, ia akan memilih jurusan fisika atau kimia dibanding teknik elektro—meski semula memang kuliah di bidang itu. Mengapa fisika dan kimia? Karena Huang melihat bahwa pemahaman mendalam tentang hukum alami adalah fondasi penting di era AI yang kian menyatu dengan dunia fisik.

Fenomena ini juga terpantau di Silicon Valley. Banyak perusahaan—dari Google hingga IBM—mulai menhapus persyaratan gelar bagi posisi teknis. Bahkan Peter Thiel pernah memberikan hibah $100.000 kepada mereka yang berbakat namun memilih keluar dari kuliah. Intinya: bakat, antusiasme, dan kecakapan nyata adalah hal yang dihargai industri saat ini.

Langkah serupa juga dilakukan oleh pimpinan Android di Google, Sameer Samat. Ia menyampaikan bahwa dalam era AI, yang benar-benar dinilai bukan gelar resmi, melainkan passion, keterampilan memecahkan masalah, dan kecerdasan dalam bidang tertentu.

Secara kontekstual, riset ilmiah juga menyokong pergeseran ini. Data dari Inggris mencatat bahwa sejak 2018, permintaan profesional AI naik hingga 21%, sementara persyaratan gelar menurun 15%. Pendapatan dari keahlian riil justru lebih tinggi daripada dari gelar sarjana. Di Australia, analisis turut menunjukkan bahwa kombinasi antara pendidikan formal dan sertifikasi spesifik—seperti AI‑900—mampu meningkatkan daya saing kandidat jauh lebih efektif ketimbang gelar saja.

Sumber: Teknologi.com